Flag Counter

Blog Archive

Review Film : 'Dont Breathe'


2 November 2016 
Editor : Ariiv Sheila Genk

Fede Alvarez, sutradara yang menghabiskan bergalon-galon darah buatan dalam remake 'Evil Dead', menahan hasrat gore-nya dan dengan piawai menyajikan tontonan yang intens tanpa eksploitasi darah yang eksesif.

 Hasil gambar untuk don't breathe
“There’s nothing a man cannot do when he accepts that there is no god.”
— The Blind Man
"Diam itu emas". Peribahasa tersebut bukanlah satu-satunya pelajaran yang akan diambil oleh karakter utama kita dalam film ini. Pelajaran yang lain adalah: (1) jangan mencuri; (2) jangan suka mencampuri urusan orang lain (khususnya urusan di basement); dan (3) jangan main-main sama orang tua (apalagi jika sang orang tua adalah veteran perang yang buta). Pengetahuan umum, namun mereka mempelajarinya melalui cara yang keras. Oh, tapi tunggu dulu. Akankah mereka punya kesempatan menerapkannya nanti, karena selamat saja belum tentu?

Kita tak begitu bisa menebaknya dan ini adalah salah satu daya tarik Don't Breath, film thriller "kebalikan home invasion" yang sangat intens dan dibuat dengan sangat baik. Kita tak tahu harus memihak siapa (setidaknya hingga klimaks film), karena baik pihak yang diburu atau pemburu sama-sama punya motif yang kuat. Ceritanya tentang aksi pencurian oleh kriminal kelas teri yang tak berjalan mulus. Saat pihak yang dicuri ternyata tak bisa dibilang sebagai korban, siapa yang anda bela?


Bukan bermaksud bilang bahwa film ini lebih ke eksplorasi karakter. Faktanya, pembuat filmnya bahkan tak buang-buang waktu untuk membangun set-up. Karakterisasinya adalah standar film horor-thriller dan tak butuh durasi lama hingga kita ditempatkan pada pusat teror yang sebagian besarnya hanya berada di satu lokasi tertutup. Meski demikian, eksposisi dasarnya sudah cukup untuk membuat kita memahami motif masing-masing.

Maling amatiran kita terdiri dari Rocky (Jane Levy), gadis yang ingin mencari uang demi melarikan diri bersama sang adik dari keluarganya yang abusif; pacar Rocky yang merupakan bandit kelas teri bernama Money (Daniel Zovatto); serta Alex (Dylan Minette) yang tampak seperti pria baik-baik tapi terlibat dalam usaha kotor ini gara-gara mengharapkan balasan cinta dari Rocky. Mereka tak begitu amatiran sih, karena Alex punya kunci dan kode keamanan yang diambilnya dari sang ayah yang bekerja di perusahaan keamanan.

Money mendapat info bahwa seorang tua (Stephen Lang) yang tinggal di daerah terpencil punya simpanan uang ratusan ribu dolar. Pak tua ini tinggal sendirian sejak anaknya meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu. Lokasi rumahnya jauh dari keramaian, ia tak punya tetangga. Lagipula, ia buta. Misi yang mudah bukan? Yang tak mereka tahu adalah pak tua ini adalah veteran perang Irak yang masih fit di usia senja, memelihara anjing Rottweiler yang mendapat pelatihan dari kru film Cujo serta punya indera pendengaran dan penciuman yang hampir setara dengan anjingnya. Jangankan pulang membawa jarahan, keluar hidup-hidup saja sulit.

Kita boleh menduga film ini akan menjadi festival bunuh-bunuhan yang klise, tapi nyatanya tidak demikian. Fede Alvarez, sutradara yang menghabiskan bergalon-galon darah buatan dalam remake Evil Dead, menahan hasrat gore-nya dan dengan piawai menyajikan tontonan yang intens tanpa eksploitasi darah yang eksesif. Tentu, masih ada beberapa adegan yang brutal secara fisik, namun Alvarez menggantungkan filmnya pada suspens, membangun atmosfer melalui setting yang gelap dan klaustrofobik serta tata suara yang mencekam. Kita akan dibuat khawatir dengan suara pecahan kaca, getaran ponsel atau lantai yang berderit. Suara sekecil apapun bisa membahayakan nyawa. Adegan paling mendebarkan terjadi di basement saat tokoh utama kita harus main kucing-kucingan dalam kondisi tanpa cahaya sama sekali, tak tahu apa yang terjadi (well, kita masih bisa melihat mereka melalui night-vision).

Pilihan yang cerdas dari Alvarez beserta sinematografernya, Pedro Luque untuk memanfaatkan pengetahuan kita akan dimensi setting-nya. Semenjak tokoh utama memasuki rumah, kamera bergerak dengan dinamis ke berbagai arah, menembus lantai dan langit-langit, menyoroti sela kasur atau celah kecil di dapur, sehingga memberi kita pencitraan mendetail mengenai geografinya. Ini efektif memberikan ketegangan, karena kita tahu kemana mereka harus lari dan dimana ada apa.

Mematuhi aturan film horor, terkadang tokohnya diharuskan membuat keputusan bodoh demi perkembangan plot. Dan hal ini bisa saya maklumi berkat belokan naskah yang lumayan tak terduga. Saat saya pikir semua sudah berakhir, film ini menafikannya dan karakter kita harus berjuang kembali. Semua permainan tensi tadi berganti menjadi syok saat kita disajikan dengan twist yang twisted sekali. Adegan ini begitu provokatif hingga harus disensor dan saya harus gugling demi mengetahui persis apa yang terjadi. Menjijikan sekaligus sensasional namun memberikan konklusi yang lebih keji daripada yang kita duga.

Don't Breathe tak mengkhianati judulnya. "Jangan bernapas" adalah pelajaran yang diambil oleh tokoh utama kita selagi berusaha keras agar setiap aksi dan helaan napas mereka tak terdengar oleh Pak Tua Buta yang sensitif. Bagi kita, pelajarannya: masih ada cara untuk membuat film horor-thriller yang mencekam dengan membelokkan formula yang telah jamak dipakai. Tanpa perlu disuruh, kita juga menahan napas.

0 Response to "Review Film : 'Dont Breathe' "

Post a Comment